Tinjauan Antropologis KST Papua
Sebelum kita membaca lebih jauh tulisan ini. Mari kita telisik lebih jauh kebelakang dan akhir-akhie ini mengenai banyaknya konflik yang terjadi di Indonesia, khususnya Papua. Berbagai permasalahan terkait baik antara Masyarakat lokal Papua dengan para pendatang, hingga berbagai konflik yang terjadi antara masyarakat Papua dengan aparat keamanan yang bertugas di wilayah tersebut.
Pembahasan kali ini akan berfokus pada Tinjauan Antropologis, yang mengarah pada bagaimana para KST (Kelompok Separatis Teroris) Papua dan berbagai asalan yang menjadi pemicu terjadinya berbagai konflik yang terjadi.
Konflik yang berkepanjangan memberikan gambaran kepada kita bahwa keinginan bertempur (will to fight) KST ingin tetap hidup meskipun konflik di wilayah sudah berlangsung beberapa dekade. Ada dua hal yang terjadi dihadapkan konflik yang berkepanjangan dan tidak mudah mengalahkan musuh. Pertama, sebagaimana layaknya insurjensi, KST amat bergantung pada populasi atau masyarakat yang mendukungnya. Dari masyarakatlah KST mendapatkan dukungan dana, tempat sembunyi, informasi, anggota baru dan lain sebagainya. Mao Zedong, pimpinan revolusi China mengibaratkan hubungan antara insurjen dan masyarakat seperti ikan dan air. Ikan akan selalu memerlukan air untuk hidup sedangkan air tanpa ikan tidak masalah. Oleh sebab itu, amat mudah bagi KST untuk bersembunyi, menyatu dengan masyarakat untuk menghindari kejaran aparat.
Hubungan antara insurjen dan masyarakat seperti ikan dan air. Ikan akan selalu memerlukan air untuk hidup sedangkan air tanpa ikan tidak masalah.
Kedua, KST relatif lebih mudah mempelajari taktik dan strategi pasukan TNI sebab posisinya jelas dan KST dapat menggunakan cover sebagai penduduk setempat untuk mengamati kegiatan pasukan TNI. Mereka memiliki kemampuan penguasaan wilayah setempat dibandingkan dengan pasukan TNI, karena mereka lahir dan dibesarkan di wilayah tersebut. Ibaratnya area konflik antara TNI dan KST adalah playing ground yang sudah dikenal baik. Disamping itu, konflik yang berlarut justru makin meningkatkan kemampuan dan kekuatan musuh karena mereka bisa membandingkan dan mempelajari beragam pola bertempur pasukan TNI yang bertugas di Papua. Statistik keberhasilan KST dalam menjatuhkan korban di pihak TNI membuktikan hal ini.
Sedangkan dihadapkan dengan perbandingan daya tempur relatif, KST menyadari tidak memiliki senjata dalam jumlah banyak dan kualitas memadai sehingga tidak pernah mau terlibat dalam pertempuran yang menentukan (decisive battle) atau berhadapan langsung (head-to-head). KST akan bertempur atas inisiatif sendiri dan selalu mencari, menemukan kelemahan aparat dan lalu mengeksploitasinya.
Kondisi wilayah penugasan khususnya Papua memiliki karakteristik yang berbeda- beda disebabkan perbedaan tipologi wilayah yang berdampak kepada kondisi cuaca dan medan. Aspek cuaca dan medan merupakan bagian dari lingkungan operasi yang perlu mendapatkan perhatian khusus bagi setiap satuan yang melaksanakan tugas. Karakteristik medan di Papua khususnya pegunungan tengah terdiri dari pegunungan, bukit dan lembah serta vegetasi tanaman yang padat berdampak pada berbagai medan kritik, baik itu lapang tinjau dan lapang tembak, lindung tinjau dan lindung tembak, rintangan serta jalan pendekat. Faktor alam seringkali menyulitkan manuver pasukan TNI dan bahkan cukup sering pihak TNI harus kehilangan nyawa prajurit dan materiel dalam upaya jelajah medan gunung hutan serta sungai yang berarus deras.
Disamping itu, faktor cuaca sangat berpengaruh sekali dalam setiap pelaksanaan tugas operasi. Contoh, Helikopter adalah sarana angkut utama untuk mengirim logistik dan personel amat tergantung dengan kondisi cuaca, sedangkan cuaca di wilayah pegunungan seringkali sulit diprediksi. Kontak tembak yang sering terjadi di Papua, seringkali tidak memungkinkan untuk mengangkut pasukan perkuatan untuk membantu pasukan yang sedang kontak tembak karena faktor cuaca ini.
Untuk melengkapi pemahaman kita terhadap KST, tidak cukup hanya memahami cumemu (cuaca,medan,musuh), tapi penting juga memahami dari sudut pandang antropologi, kita perlu melihat lebih dalam aspek kultural asal dari KST ini. Kita mengetahui bahwa secara umum KST tidak pernah mendapat pelatihan militer seperti halnya TNI dan Polri, namun pemahaman KST terhadap pertempuran merupakan interpretasi dari perilaku masyarakat Papua dalam berburu dan perang suku.
Papua sendiri terbagi menjadi tujuh wilayah adat yang menjadi dasar pemekaran yaitu terdiri dari lima wilayah adat di Provinis Papua, yakni Mamta, Saereri, Anim Ha, La Lago, dan Mee Pago. Dua wilayah adat di Papua Barat adalah Domberai dan Bomberai. Untuk keperluan penulisan ini hanya akan dibahas dimana area konflik pada umumnya terjadi yaitu 2 (dua) Kesatuan Adat, Adat La Pago dan Adat Mee Pago.
Wilayah adat La Pago terdiri dari kabupaten-kabupaten yang ada di wilayah pegunungan tengah sisi timur, yaitu Kabupaten Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Lanny Jaya, Tolikara, Nduga, Puncak Jaya, Yalimo, Yahukimo, Membramo Tengah dan Kabupaten Puncak. Secara umum kabupaten yang ada di wilayah La Pago adalah kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten induk yaitu Kabupaten Jayawijaya. Sebagai kabupaten yang berasal dari induk yang sama, secara umum wilayah La Pago mempunyai topologi yang sama. Wilayah La Pago membawahi lebih dari 20 Suku seperti Dani, Dem, Ndugwa, Ngalik, Ngalum, Nimbora, Pesekhem, Pyu, Una, Uria, Himanggona, Karfasia, Korapan, Kupel, Timorini, Wanam, Biksi, Momuna, Murop, Sela Sarmi, Yali dan Nduga. Di daerah wilayah ini masih banyak orang yang mengenakan “koteka” (penutup penis) yang terbuat dari kunden kuning dan para wanita menggunakan pakaian “wah” berasal dari rumput/serat dan tinggal di “Honai-honai” (gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Upacara-upacara besar keagamaan, perang suku masih dilaksanakan (walaupun tidak sebesar sebelumnya). Walaupun mereka menerima Agama Kristen, banyak diantara upacara-upacara mereka masih bercorak budaya lama rekwasi atau upacara adat untuk menghormati leluhur. Seluruh upacara keagamaan diiringi dengan nyanyian, tarian dan persembahan terhadap nenek moyang mereka.
Sedangkan wilayah adat Mee Pago meliputi Kabupaten Dogiyai, Deiyai, Nabire, Intan Jaya, Paniai dan Mimika. Masyarakat yang hidup dalam wilayah suku Mee Pago hampir seluruhnya berasal dari suku yang sama, yaitu Suku Mee, yang mendiami dikawasan pegunungan tengah, dibagian barat. Suku Mee salah satu dari lima suku pegunungan tengah Papua yaitu Damal, Dani, Moni, Nduga dan Mee mendiami kabupaten Puncak Jaya, Jayawijaya dan Paniai. Ciri khas wilayah suku Mee adalah mereka hidup di sekitar danau Paniai, danau Tage, Danau Tigi, Lembah Kamu (sekarang Dogiyai) dan pegunungan Mapiha/ Mapisa. Mee berarti orang-orang yang telah dipenuhi dengan akal budi yang sehat, dapat berpikir secara logis, dapat membedakan suku ini dari suku yang lain, dapat membedakan barang miliknya dengan milik orang lain, daerah garapannya dengan garapan milik orang lain dan dapat mentaati amanat-amanat yang diwariskan oleh leluhur, dimana amanat yang paling utama yang dilarang adalah hal perzinahan.
Pola perkampungan masyarakat Mee tinggal dalam desa yang berdekatan satu sama lain. Beberapa desa yang berdekatan biasanya terdiri dari lima desa, membentuk suatu federasi desa sebagai kesatuan politik yang terbesar dalam masyarakat Mee. Tiap federasi dipimpin oleh salah seorang Tonowi. Suku Mee memusatkan sistem pencaharian pada bertani dan beternak. Namun mereka juga masih melakukan kegiatan lainnya seperti dibidang perikanan dan perdagangan. Tapi tetap saja orang-orang Mee lebih mengutamakan berladang atau bertani. Secara Spesifik cara berburu masyarakat wilayah La Pago dan Mee Pago pada umumnya sama. Tradisi berburu (hunter gatherer) masih berlangsung hingga saat ini pada suku-suku asli di papua. Alat yang digunakan dalam berburu bermacam-macam, mulai dari panah, parang, tombak atau jubi (panah tradisional) serta pisau belati. Berburu juga dianggap sebagai kegiatan untuk bertukar pengetahuan tentang alam dan mempelajari kebiasaan binatang serta melatih fisik untuk bisa bergerak dengan cepat. Perburuan juga dapat melibatkan hampir semua warga dalam satu kampung, baik laki-laki dewasa, perempuan hingga anak-anak. Perempuan dan anak- anak akan berperan sebagai tim pengusir sementara para pria dewasa berperan sebagai tim pemanah. Tim pengusir akan melakukan pengusiran dari arah yang berlawanan dari tim pemanah. Mereka akan membuat keributan dan kegaduhan dengan cara bersuara dan memukul-mukul banir kayu. Selanjutnya satwa liar hasil buruan ini akan dipotong- potong dan dibagi merata kepada semua orang yang terlibat dalam Perburuan. Hingga saat ini, tradisi berburu ini masih dilakukan masyarakat untuk menghidupi kebutuhan pangan sehari-hari mereka. Secara singkat mereka mempunyai kemampuan hidup seperti nenek moyang kita yang hidup ribuan bahkan jutaan tahun yang lalu pada Zaman Batu (Stone Age), namun mereka juga mempunyai dan mampu mengoperasikan teknologi abad 21 seperti alat komunikasi radio maupun smartphone, komputer, senjata api hingga drone dan lain sebagainya.
Konflik perang suku sudah terjadi sejak zaman nenek moyang dan merupakan tradisi setiap suku di wilayah pegunungan untuk bertahan hidup. Awal mula terjadinya perang suku bisa terjadi karena berbagai macam hal, contoh semisal perzinahan atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan rasa dendam yang mendalam dapat mengakibatkan kedua kubu saling berkonflik.
Tindakan balas dendam bisa berawal dari beberapa kejadian atau faktor tertentu. Salah satunya adalah keinginan melampiaskan amarah kepada pihak lain. Di Papua hukum rimba masih berlaku, contohnya adalah pembalasan nyawa dengan nyawa, membalas kematian dengan kematian. Ini adalah faktor utama yang memicu pecahnya perang antar suku di Papua dan sulit untuk dihilangkan karena sudah merupakan suatu lingkaran yang sulit terputus. Balas dendam dalam budaya mereka sudah menjadi suatu hal yang sangat wajar berkaitan dengan nilai–nilai dan budaya yang dianut para masyarakat Papua. Persoalan–persoalan yang terjadi di Papua pada akhirnya harus dibayar mahal oleh kelompok dan suku dengan kehilangan anggotanya. Contoh, perang suku antara masyarakat wilayah La Pago dan Mee Pago secara umum juga sama, dimulai dari mengumpulkan massa untuk berperang. Kemudian menuju ke tempat lokasi berperang. Ketika Kedua kubu saling bertemu akan saling serang dengan melempar batu, menggunakan busur panah dan alat-alat yang biasa digunakan untuk berburu yang diselingi dengan Waita (bunyi teriakan).
Dalam aksi saling serang tersebut akan menimbulkan korban yang tidak sedikit dari kedua belah pihak. Apabila perang suku dimenangkan oleh salah satu suku tersebut, maka proses akhir dari perang suku yaitu proses “pematahan panah” dan “pembayaran kepala” korban perang sesuai tradisi perang suku yang berlaku. Dalam perang suku setiap kubu dipimpin oleh seorang Panglima perang yang disebut Waimum. Kini mereka memindahkan tradisi perang suku dan berburu untuk menghadapi TNI yang dianggap sebagai penjajah, seperti berburu binatang atau perang suku. Mirip dengan cara mereka berburu yang membagi hasil buruan kepada kelompok yang ikut berburu, hasil dari kontak tembak dengan TNI, mereka kemudian membagi senjata rampasan kepada orang yang dianggap layak.
Dari beberapa hal tersebut, maka prajurit TNI perlu membekali dirinya dengan kemampuan dan rasa percaya diri yang tinggi. Sehingga setiap pergerakan yang dilakukan untuk membela dan menegakkan kedaulatan negara dari para kelompok seperatis dapat dihentikan dan tidak semakin berkembang.
Semoga bermanfaat.
Tulisan ini sangat membantu pelaksanaan tugas di papua dengan mengenalkan karakteristik,asal usul,silsilah dan budaya bagaimna KST bisa hidup dan berkembang di papua terimakasih ilmunya semoga bermanfaat selalu dan dapat dijadikan konsep atau refrensi untuk membantu penugasan di papua kedepannya
BalasHapus